NAGEKEO - Kebebasan beragama beribadah serta mendirikan tempat ibadah adalah non-derogable rights (hak-hak yang tercakup dalam hak sipil dan politik yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun).
Hal itu dikatakan Marianus Gaharpung SH.MS setelah menapaki dan mencermati upaya penolakan terhadap pembangunan Mushola Nanganumba, di Desa Nggolonio, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, NTT.
Menurutnya, itu suatu prinsip hak asasi sipil dan politik yang wajib dijunjung oleh negara. Artinya setiap pejabat atau badan tata usaha negara di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagekeo, wajib tunduk terhadap norma hukum tersebut.
"Negara tidak bisa melarang agama termasuk pembangunan tempat ibadah sepanjang sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak menyinggung prinsip dan kepercayaan umat agama lainnya, " kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya ini, Selasa (16/8/22).
Disebutkan lagi, Pasal 18 Deklarasi Universal HAM menyatakan setiap orang berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini, selaras dengan UUD NRI 1945 yang menempatkan HAM dalam porsi yang cukup signifikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A sampai 28J.
Pasal 28E ayat 1 menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya karena negara didirikan bertujuan untuk melindungi hak warga negara dan memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya.
"Dalam konteks ke-Indonesia-an, salah satu tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, tentu saja tanpa diskriminasi, baik berdasarkan suku, bahasa, maupun agama. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat termasuk mendirikan tempat ibadah dengan terlebih dahulu memenuhi semua ketentuan peraturan perundang undangan, " tukasnya.
Lawyer sekaligus Ketua Biro Bantuan Hukum FH Ubaya ini juga meminta agar oknum penolakan dapat menunjukan pasal dan ayat tentang peraturan yang membolehkan atau membenarkan bahwa pemangku adat atau sekelompok orang yang mengatasnamakan ormas di suatu wilayah Kabupaten Nagekeo bisa menghalangi pembangunan tempat ibadah (mushola) di Nanganumba.
"Jika tidak ada berarti pembangunan mushola di Nanganumba terus jalan sampai tuntas dan jika ada pihak yang melarang segera lapor ke Polres Nagekeo pasti dipanggil oknum oknum yang seenaknya sendiri tanpa alas hak memghasut warga unk menolak pembangunan mushola tersebut. Sebab kehidupan kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan pesat dilihat dari legal konstitusional perlindungan hak kebebasan beragama, " lirih Marianus.
Marianus menambahkan, sebagai konsekuensi non-derogable rights, kebebasan beragama berarti bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara keadaan apapun.
"Oleh karena itu, ketika warga muslim Nanganumba sudah memenuhi persyaratan pendirian mushola tidak ada alasan baik dari oknum pejabat tun di Pemkab Nagekeo termasuk warga masyarakat wilayah tempat didirikan mushola tersebut memfasilitasi pendirian tempat ibadah ini jika tidak mau berurusan dengan aparat penegak hukum Polres Nagekeo, " ringkas mantan konsultan hukum Pemkab Nagekeo ini.